Pidato Sang Ayam
PIDATO SANG AYAM
Di sebuah tempat yang aman, jauh dari bising-bising suara kendaraan berlalu-lalang, jauh dari keramaian orang-orang di kota yang sibuk dengan perdagangan mereka, tepatnya di Nagari Kamang Hilia, terdapatlah sebuah perkampungan yang sangatlah ramainya. Perkampungan ayam, namanya. Adapun kenapa kampung ini disebut perkampungan ayam karena yang menjadi tokoh-tokoh dalam cerita kita kali ini ialah para ayam-ayam yang telah memiliki sistem sosial dan sistem ekonomi seperti manusia. Berbicara layaknya seorang manusia, bergaul seperti seorang manusia, berpikir seperti seorang manusia. Hanya kodratnya saja yang sebagai ayam, akan tetapi otaknya benar-benar manusia.
Di kandang yang tidak terlalu mewah, seekor ayam jantan berotot dan bertubuh kekar sekaligus sebagai pimpinan di antara ayam-ayam yang ada, berkata pada teman-temannya yang sekandang,
“Saudaraku-saudaraku seayam seperkandangan! Mohon perhatiannya sejenak. Sebab akan ada yang saya sampaikan pada hadirin semuanya. Yang tidak menyimak berarti dia tidak punya telinga. Yang punya telinga tapi tidak bisa mendengar itu hanya telinga kuali. Saya tidak mau menyamakan telinga saudara-saudara sekalian dengan telinga kuali. Kalau telinga kuali mah buat dijinjing-jinjing. Makanya, saya harap hadirin saudara-saudaraku sekalian memperhatikan dengan khusyuk, meski ini bukanlah ritual ibadah. Mohon diperhatikan secara seksama agar tidak terjadi kesalah pahaman di antara yang menyampaikan berita dan yang menerima berita. Saya paling tidak suka akan sesuatu yang bersifat mis-understanding,” ungkap pimpinan ayam di hadapan anggota-anggotanya.
“Saudaraku-saudaraku seayam seperkandangan! Penjatahan makan kita mulai hari ini Senin tanggal 27 Agustus 2007 tepat jam nol-nol fa sha’idan akan dikurangi oleh majikan kita, karena padi mulai kurang banyak dipanen. Hujan sudah lama tidak turun. Sawah-sawah kering dari air. Petani pun tidak bisa memanen padinya tepat waktu. Ini saja sawahnya sudah diairi pakai air kolam. Bukan air hujan lagi. Kalau kemarin-kemarin kita dapat jatah sehari seratus butir padi per ayam sekarang sehari hanya dua puluh butir padi per ayam. Bahkan ada yang kurang,”
Para hadirin ayam yang mendengar manggut-manggut mengerti. Padahal di antara mereka yang hadir di kandang itu tidak semuanya mengerti dengan “bahasa ilmiah” sang pemimpin. “Bahasa ilmiah” entah bahasa apa-apa. Mungkin bahasa karang-karangan biar lebih gengsi sedikit. Memang sejak era millenium, perkembangan bahasa mulai meningkat drastis. Ada yang namanya bahasa gaul, ada yang namanya bahasa persatuan, ada yang namanya bahasa perpendekan, ada yang namanya bahasa Inggris, Perancis, China, Mandarin, India, Bahasa arigato dan buaaanyak lagi bahasa. Anda sendiri menyukai bahasa apa? Bahasa ayam-kah?
Bahasa gaul itu menggunakan istilah LLGG, diulangi sekali lagi LLGG, mohon perhatian, bukan LG barang elektronik itu ya. LLGG ini singkatan dari elu-elu, gue-gue. Yang tidak menggunakan kata LLGG ini dalam percakapannya bisa disimpulkan ia sama sekali tidak mengenal apa yang namanya bahasa gaul, so dia itu tidak gaul. Padahal gaul itu dinilai pertama sekali dari bahasa yang dipergunakan.
Bahasa persatuan yaitu Bahasa Nasional seperti Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia ini adalah bahasa yang super-sakral, multi-sakral dan ultra-sakral, yang memiliki kaidah-kaidah tertentu. Kalau anda melanggar aturannya berarti anda tidak mencintai persatuan. Jika anda tidak lagi mencintai persatuan berarti anda suka bercerai. Bercerai itu menurut Rasul amat dimurkai oleh Allah, abghadul halaali ilallahi At-Thalaq, sesuatu halal yang amat dibenci di sisi Allah ialah perceraian. Jika anda tidak berbahasa persatuan, berarti anda berbahasa perceraian. Jika anda menggunakan bahasa perceraian berarti anda dibenci oleh Yang Maha Kuasa. Kalau anda sudah dibenci Yang Maha Kuasa, jangan harap anda selamat dunia akhirat.
Mulai saat ini mari kita mencintai bahasa persatuan kita, yaitu Bahasa Indonesia. Buat yang Jepang, mari mencintai bahasa persatuannya, yaitu Bahasa Jepang. Buat yang Inggris, mari mencintai bahasa persatuannya, yaitu Bahasa Inggris. Buat yang tidak kebagian negara cintailah bahasa persatuan anda sendiri. Jangan mencintai bahasa orang lain..., itu tidak baik, malahan tercela. Sama halnya mencintai milik orang lain. Cintai milik sendiri meski jelek sebab milik orang lain itu belum tentu bagus.
Bahasa selanjutnya adalah bahasa perpendekan. Bahasa paling ngetren saat ini. CLBK, cinta lama bersemi kembali. Titi Dj, hati-hati di jalan. KDRT, kekerasan dalam rumah tangga. Triple M, malu-malu mau. Iblis LA, iblis laknatullah ‘alaihi. Budi alm, Budi al-marhum. Daaan masih buaaanyak lagi singkatan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu di atas kertas ini. Warning! Jika penyakit ingin tahu anda berlanjut segera hubungi dokter serba tahu. Bagitulah saran yang bisa penulis berikan kepada anda.
Bahasa-bahasa ini tidak hanya merambah kehidupan manusia tapi juga merambah kehidupan binatang, tumbuhan, rumput, sapi, kerbau, cacing, ulat, semut, semua bahasanya sudah bercampur aduk, digodok menjadi satu sesuai dengan keinginan penuturnya. Tapi sayangnya, yang terjadi di lingkungan ayam berikut ini, amatlah mengherankan. Sudahlah para ayam tidak tahu bahasa ketuanya, mereka tidak pula mau bertanya. Malu bertanya, tidak usah jalan. Tapi kalau anda keras juga untuk berjalan, maka pastinya anda akan jalan-jalan. Hehey...
Misalkan tadi ada kata fa sha’idan, ayam dungu hitam belang di samping seekor ayam jantan berkupiah tidak tahu sedikit pun artinya, dia hanya mengangguk-angguk ayam saja mendengar perkataan pimpinannya. Perlu pembaca ketahui bahwa fa sha’idan itu artinya “dan seterusnya”.
“Saudaraku-saudaraku seayam seperkandangan! Kalau begini adanya kita bisa mati kelaparan di kandang kita sendiri. Majikan kita tidak pernah tahu kalau kita akan is death semua tanpa makan padi,” kembali bahasa aneh dipakai oleh pimpinan mereka. Akhirnya karena penasaran, si ayam betina yang jadi istri pemimpin perkampungan ayam bertanya.
“Mas, is death itu apa ya, mas?” seekor ayam betina yang berdiri di belakang ayam jantan tadi bertanya.
“Makanya nduk, kamu jangan di kandang saja mengerami telurmu. Sekali-kali kamu juga harus keluar kandang mengikuti perkembangan bahasa-bahasa di lingkungan ayam. Zaman ayam sekarang sudah sangat maju. Sudah banyak istilah yang dipakai beberapa ekor ayam. Ada istilah gaul, ada istilah asing, ada istilah asal istilah, ada juga istilah-istilahat, maksudku juga ada istilah yang pakai akhiran at seperti muslimin-muslimat, mukminin-mukminat, shalihin-shalihat, koruptor-koruptorat gitu,”
“Wong kalau saya tidak mengerami telur saya, bagaimana bisa anak kita menetas, mas. Ntar keturunan kita bisa terputus sampai di kita saja. Malu dong. Kita tidak punya kader penerus. Putus sudah tongkat estafet kita. Kita harus punya generasi penerus, mas. Buat membuktikan pada dunia perayaman bahwa kita pernah hidup di sini penuh dengan kebahagiaan dan kemakmuran, meski setelah ini kemakmuran itu berkurang, tidak seperti awal kita tinggal di sini dulunya,”
“Apa katamu, nduk? Anak kita akan segera menetas toh?”
“Iya mas, tidak beberapa hari lagi, si kecil di dalam cangkang telur ini akan lahir ke bumi, mas. Ia akan menjadi penerus perjuanganmu, mas,”
“Jangan ditetasin dulu, nduk, kalau dia lahir dan saudara-saudaranya juga lahir, penjatahan padi buat kita malah berkurang, nduk. Netasnya jangan di sini, nduk. Kalau di sini majikannya pelit ngasih padi. Besok kita mengungsi dari sini, pas sampai di lokasi yang baru, baru si kecil kita menetas. Kalau dia menetas sekarang, habislah kita. Jatah makan, alamak dua puluh butir dibagi sebanyak si kecil, bisa habislah kita, nduk.”
“Lha, gak bisa, mas. Saya sudah bertekad menetaskan anak kita di sini, di sini lebih aman, hangat, jauh dari kebisingan motor yang lalu lalang. Juga di sini banyak kenangan kita. Nah kalau di tempat yang baru kan belum tentu apa lebih nyaman dari yang sekarang. Bagimana kalau tambah parah, mas,”
“Kamu jangan berpikiran sedangkal itu, nduk. Bagaimana kalau di tempat yang baru, hidup kita lebih sejahtera, lebih makmur, kan anak kita juga bisa sejahtera, juga bisa makmur. Jangan bertanya dengan pertanyaan bagaimana tapi mengapa tidak. Mengapa kita tidak mencobanya. Mengapa kita tidak mengusahakan hidup yang lebih baik. Wong manusia itu bisa dinilai dari cara bertanyanya lho, nduk.”
Kemudian sang pemimpin ayam menghadap ke arah hadirin semuanya. “Kita jangan bertanya bagaimana kalau kita mengungsi terus tempat penampungan kita tidak lebih baik dari yang sekarang. Tapi yang harus kita tanamkan ialah bertanya dengan struktur why not? alias kenapa kita tidak coba saja. Sebab ayam-ayam itu bisa dinilai dari cara bertanyanya,” dengan gagah perkasa sang pemimpin ayam berpidato di hadapan rekan-rekannya. Inilah dia pidato sang ayam.
“Pertama, kalau ia bertanya dengan menggunakan pertanyaan apa, berarti ayam itu orangnya materialis. Kerjanya mikirin benda-benda mati seumur hidupnya. Jangan mau berteman dengan ayam ini. Ayam materialis adalah ayam yang sangat berbahaya. Tanpa uang, anda bisa sengsara. Tapi jika anda punya uang, anda sendiri akan disikatnya,”
“Kedua, kalau ia bertanya dengan menggunakan pertanyaan siapa, berarti ayamnya itu ayam sosialis. Kerjanya mikirin orang-orang tempat ia berinteraksi padahal ia sendiri tidak pernah memikirkan dirinya. Sekali-kali jangan pernah berteman dengan ayam ini. Dia akan melihat kamu dari posisi dan jabatanmu. Kalau jabatanmu baik atau setidak-tidaknya lebih bagus dari dia, maka ia akan menghormatimu tapi kalau jabatanmu buruk dan lebih rendah dari padanya, ia tidak akan pernah menghormatimu apalagi sampai mendengarkan perkataanmu. Ia akan mikir dua ratus dua puluh satu kali untuk mengikuti nasehatmu. Ia pasti bilang emangnya kamu itu “siapa”? Berani-beraninya menasehati saya,”
“Ketiga, kalau ayam itu bertanya dengan menggunakan pertanyaan mengapa, berarti ia ayam kausalis. Kausalis itu orang yang melihat dua sisi, yaitu sebab-akibat. Kalau bertindak, ia akan mikir sebab-akibat dari tindakannya. Kalau ia berkata, ia akan mikir sebab-akibat dari perkataannya. Bahkan sampai mikir sekalipun, ia akan mikir sebab-akibat pemikirannya. Orang ini terlalu kritis, para hadirin. Susah berteman dengan orang seperti ini, meskipun mengasyikkan. Ia banyak tanya, mengapa begini, mengapa begitu, mengapa begono, mengapa begene, mengapa begunu dan mengapa lainnya. Sebagai pemimpin rekan-rekan seayam seperkandangan, saya beri tahu saudara-saudara semuanya akan ciri-ciri ayam ini. Dia ayam yang berpendidikan! Itu ciri intinya. Kalau ayam itu pernah sekolah dan kuliah, berarti ia ayam kausalis, ayam yang selain memikirkan sebab-akibat juga banyak tanya. Guru juga ayam yang kausalis, saudaraku. Apalagi seorang dosen maka ia lebih kausalis lagi. Ayam-ayam kausalis sebenarnya harus diminimalisir di dunia perayaman. Semakin banyak mereka semakin runyam bangsa ayam. Negeri ini tidak butuh ayam-ayam berpendidikan seperti mereka, yang diperlukan hanyalah ayam yang bisa berbakti pada bangsa dan negaranya yaitu mereka yang memikirkan nasib perayaman yang sudah terseot-seot di makan zaman. Memikirkan jatah makan esok pagi bagi rakyatnya, bukan malah menghabisi jatah makanan untuk temboloknya sendiri,”
“Keempat, kalau ayam itu bertanya dengan menggunakan pertanyaan dimana, berarti ayam itu ayam placist. Placist berasal dari bahasa Inggris place ditambah akhiran ist. Mirip kata tour ditambah akhiran ist, jadinya tourist. Ayam placist itu ayam yang mikirin tempat melulu. Kalau mau makan, mikirin tempatnya dimana. Kalau mau kerja mikirin tempatnya dimana. Kalau mau kencan mikirin tempatnya dimana. Tempat doang isi otaknya. Berteman dengan ayam placist juga tidak asyik,”
“Kelima, kalau ia bertanya dengan menggunakan pertanyaan kapan, berarti ayam itu timer-chicken. Timer-chicken itu juga berasal dari bahasa Inggris time ditambah akhiran chicken. Kalau buat yang betinanya, Timer-chicken woman, bukan Wonder Woman lho. Ayam yang Timer-chicken itu adalah ayam yang mikirin waktu. Biasanya ayam ini sedikit on time dalam bertindak. Kalau mau makan, ia mikir jam berapa, sampai jam berapa, berapa lama, apa tidak bentrok dengan jadwal ini-itu. Jika berteman dengan ayam ini sedikit mengasyikkan. Tapi saudara-saudaraku sekalian juga harus on time seperti dia,”
“Keenam, yang ini bertanya dengan pertanyaan bagaimana, berarti ayamnya itu tolol dan nanit. Ayam tolol selalu mikirin cara, bagaimana caranya makan hari ini, bagaimana caranya makan buat anak. Bagaimana kalau nanti lebih parah, bagaimana ini dan itu. Saya peringatkan saudara-saudara jangan keseringan berkata seperti itu, kalau saudara tidak ingin dikatakan ayam yang nanit,”
“Nah, cara bertanya yang paling bagus itu ialah bertanya yang ketujuh yaitu dengan menggunakan kata tidak. Negative question. Apa tidak, siapa tidak, kapan tidak, dimana tidak dan segala tidak lainnya. Semua pertanyaan harus dinegatifkan dulu,”
“Rekan-rekanku seayam seperjuangan, setelah memaparkan “kriteria ayam sesuai dengan cara bertanyanya” secara panjang lebar, saya seharusnya menyarankan kepada anda semua untuk menggunakan pertanyaan ‘bagaimana kalau tidak’ atau ‘kenapa tidak pindah’ saja,” ujar si ayam jantan kekar.
“Hanya dua alternatif itu yang dapat saya sampaikan selaku pimpinan lurah di kandang ini. Kita diam atau kita pindah, just it, no other,” pak lurah ayam segera menyelesaikan pidatonya yang lebar kali panjang kali tinggi, berapa isinya ?
Hadirin yang berhadir mulai berpikir mencoba mencerna saran yang disampaikan Pak lurah ayam. Banyak ayam-ayam yang membicarakan hal itu kepada teman yang duduk di sebelahnya.
“Pakde, kalau saya boleh ngusul, kita tidak usah pindah dan tidak usah mogok kerja. Betul kata bukde bahwa kalau kita pindah kita belum tentu dapat tempat yang lebih baik dari yang sekarang, bisa jadi tempat yang akan kita kunjungi itu lebih parah. Jika di sini kita sudah dapat sehari dua puluh butir per ayam, mana tahu di tempat baru kita malah dapat sebutir per ayam, bisa mampus kita, pakde. Terus kalau kita mogok kerja dan hanya tidur-tiduran di kandang, tidak ada gunanya. Majikan kita tidak akan respect dengan kondisi yang demikian. Majikan kita punya slogan ‘cuek is the best’ pakde.” Seekor ayam berbulu loreng memberi usul. Bulunya tidak seloreng bulu harimau, sebab kalau bulunya sama dengan loreng harimau, di dalam rapat ini ia bisa dikatakan penyusup. Kalau sudah dikatakan penyusup, habislah ia ditinggalkan rekan-rekannya. Bisa dimaklumi, sebab bangsa ayam paling takut dengan yang namanya harimau loreng.
“Ada yang punya usul lain?” Tanya si ayam kekar.
“Saya punya usul bagaimana kalau kita demo saja sama majikan kita agar ia memperbanyak jatah makan kita. Kalau padi tidak ada, majikan kita harus sediakan kentucky. Kalau kentucky juga tidak ada kita minta KFC. Kalau KFC juga tidak ada kita makan cacing tanah saja. Tapi bukan kita yang nyari cacing, kita paksa majikan kita mencarikan kita cacing sebanyak yang kita inginkan. Sebagai bangsa ayam yang terhormat, saya tidak mau mencari cacing dengan paruh saya yang suci ini. Saya tidak mau menodai diri kalau hanya ingin mendapatkan cacing. Apa gunanya kita punya majikan kalau toh kita sendiri yang akan mencari makanan. Lebih baik bebas kalau demikian halnya. Lihatlah saudara kita si ayam hutan, hidup bebas, makan bebas, bermain bebas, mau tidur di mana bebas, bahkan sampai mati di mana pun ia bebas tidak ketulungan,”
“Wei, Tong! Kalau kamu mau bebas, kamu keluar saja dari komunitas perayaman di sini. Kamu bisa tinggal dengan ayam hutan seperti yang kamu khayalkan itu. Dasar Otong si ayam pemalas!” seekor ayam membantah perkataan Otong.
“Kamu sendiri juga pemalas, Nyuk. Kamu mengikuti saran Pakde dengan mengurung diri di kandang ini juga pemalas namanya. Kamu mengharapkan jatah makan lebih banyak dari majikan kita, itu juga malas! Kamu kerja tidak ada, tapi malah nuntut padi yang lebih banyak. Kunyuk juga pemalas, bukan cuma Otong!”
“Hei..., hei..., hadirin diharap tenang, slow down baby. Jangan dibawa emosi. Urusan kalau sudah diselesaikan dengan emosi sama saja, ia tidak akan selesai. Tambah rumit mah masalahnya. Kita harus tenang dan tarik nafas dalam-dalam, lalu lepaskan perlahan-lahan,” seekor ayam betina yang memang kurang suka akan perselisihan segera menenangkan situasi.
“Usulmu itu, Tong!” tiba-tiba seekor ustadz ayam berselendang dan berkupiah menyela keributan antara Otong, Kunyuk dan ayam betina. “Mikir sedikit kalau kamu mau ngusul, Tong! Jangan sembarangan sebut. Wong kentucky itu juga diambil dari daging kita, wong KFC itu juga diambil dari daging kita. Kalau padi diganti dengan kentucky, dzalika ma’nahu kita makan daging sendiri. Jangan Tong! Ghibah tahu?” ucap seekor ustadz ayam. Yang dimaksud dengan dzalika ma’nahu, ialah : itu artinya.
“Ghibah itu apa an sich Ustadz Ayam?” si Kunyuk bertanya.
“Ghibah itu, dzikruka akhaaka bima yakrahu, kamu menyebut nama saudaramu dengan panggilan yang tidak disukainya,”
“Lho kalau kita makan kentucky atau KFC, kan tidak ada nyebut nama saudara-saudara kita dengan panggilan yang tidak disukainya,”
“Lha, iya. Kentucky dan KFC itu pantangan disebut di lingkungan kita sebagai bangsa ayam. Haram sebenar-benar haram. Menyebutnya saja sudah termasuk ghibah, Allah sendiri berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12, wa laa yaghtab ba’dhukum ba’dha, janganlah sesama kamu bangsa ayam saling mengghibahkan saudaranya,”
“Betul, Tong! Kamu itu kalau ngusul harus mikir dulu, masak makanan kita diganti pakai KFC, lha sama saja makan daging sendiri,” ucap seekor ayam yang dari tadi menyimak perkataan ustadz ayam dengan seksama. Namanya si ayam Juned.
“I am so sorry, saudara-saudaraku. Aku tidak bermaksud demikian. Di lingkungan manusia itu makanan kentucky dan KFC adalah makanan paling favorit. Aku pikir dengan mengusulkannya di majelis ini berarti kita juga bisa mendapatkan makanan favorit manusia,”
“Favorit bagi manusia, belum tentu favorit bagi kita, Tong!” lanjut ustadz ayam.
“Hadirin semuanya, jadi apa solusi dari masalah kekurangan padi ini?” tanya si ayam kekar yang jadi Pakde alias kepala lurah di lingkungan ayam sana. Dari tadi ia hanya mendengar perselisihan di antara ayam-ayam saudaranya.
“Kita demo saja, pakde,”
“Iya kita demo saja. Itu inisiatif paling bagus dari tiga alternatif yang ada,”
“Ho-oh, demo usulan yang paling kreatif,”
“Iya, dengan demo kita tegakkan demokrasi di lingkungan para ayam. Sepakat?”
Puluhan ekor ayam di kandang saat itu bersorak-sorak gembira. Kokokannya terdengar keras di subuh buta.
“Saya tadi sudah katakan ada dua alternatif. Pertama, kita cari kandang yang baru dengan majikan baru. Kedua, kita mogok kerja. Nah itu usul dari saya. Tadi ada masukan dari rekan kita. Solusi ketiganya, demo. Yang mana yang akan kita pilih?” Pakde bertanya kepada jama’ah ayam yang berhadir.
“KITA DEMO!!!” seekor ayam berteriak keras dari belakang.
“Kita sepakat demo?” Tanya Pakde.
“Sepakat!!!!” seluruh ayam yang berhadir menyorak-nyorakkan demo.
Akhirnya keputusan pun telah ditetapkan bahwa sekandang ayam akan mendemo majikannya. Demo direncanakan setelah majikan membuka kandang mereka pagi ini. Demo ini akan dipimpin langsung oleh pakde, dan sebagai oratornya yang memberikan orasi nantinya ialah si ustadz ayam.
* * *
Pagi hari saat jam menunjukkan pukul 6 lewat 20 menit, kandang ayam dibuka oleh Pak Haji Surdini. Langsung saja ayam-ayam itu berhamburan keluar bahkan ada yang menyepak terjang wajah Pak Haji Surdini.
“Dasar ayam tidak tahu diri, mau dikasih makan kok malah nendang-nendang wajah saya. Dasar ayam tidak tahu diuntung, tidak kenal balas budi,” Haji Surdini mengutuk-ngutuk ayam-ayam yang berhamburan keluar dari kandang.
Pak Haji Surdini ialah majikan ayam-ayam tersebut. Ayam-ayam ini rencananya akan berdemo, hanya tinggal menunggu aba-aba dari Pak Lurah ayam. Mereka sepakat akan berdemo jika butiran-butiran padi telah dibagikan, mereka akan berdemo setelah makan saja.
“Kur...kur...,” terdengar suara Pak Haji memanggil ayam-ayamnya. Ia lalu melemparkan segenggam padi ke hadapan mereka. Spontan saja ayam-ayam itu berebutan memakan padi yang baru saja dibuang oleh Pak Haji. Ayam-ayam itu makan dengan lahapnya, berebutan, tendang saudara, tendang saudari, tendang bapak, tendang emak, semuanya ditendang, yang penting dapat makan, tidak peduli yang lain, mau pernah berhubungan darah ayam sekali pun, I don’t care!!!. Pak Lurah ayam saja sebagai pimpinan juga ikut-ikutan sikut kiri sikut kanan, mereka kalau sudah melihat yang namanya padi penjatahan makan, langsung berebut, tidak kenal siapa-siapa lagi, masing-masing mengurus perutnya sendiri-sendiri.
Karena terlalu asyiknya, mereka sampai lupa untuk melaksanakan demo. Makan yach makan. Demo urusan nomor sebelas.
Begitulah, setelah kenyang, ayam-ayam itu langsung berkeliaran entah kemana. Pak Haji Surdini kembali masuk ke dalam rumahnya.
* * *
Hari kedua setelah rapat. Kembali ayam-ayam berkumpul di dalam kandangnya.
“Hadirin sekalian, saya tidak mengira kalau masing-masing dari kita melupakan janjinya. Masing-masing dari kita terpedaya oleh bujuk rayu padi yang berserakan. Karena keserakahan individu kita, kita sampai lupa akan melancarkan aksi demo di hadapan majikan. Bagaimana ini?” Pak Lurah ayam kembali berpidato di hadapan rekan-rekannya.
Di bagian belakang perkumpulan, si Otong berkata pada si Kunyuk sambil berbisik-bisik.
“Nyuk, Pakde kita nyalahin kita saja, padahal Pakde sendiri juga ikut-ikutan lupa. Beliau juga ikut-ikutan makan padi penjatahan. Masa’ sebagai pemimpin, beliau tidak memberikan suri tauladan yang baik. Seharusnya Pakde malu, ya, Nyuk. Coba lihat Rasulullah SAW yang memberikan tauladan yang baik. Kalau mau perang, beliau berada di garis depan. Kalau mau menyuruh seseorang, beliau dahulu yang mengerjakannya. Kalau mau melarang seseorang, beliau dulu yang meninggalkannya,”
“Iya, Tong! Pakde sebagai pimpinan kita benar-benar benar-benar bullshit begete,”
“Nyuk, jangan pakai istilah ilmiah dong. Aku tidak pernah sekolah, Nyuk,”
“Istilah ilmiah apanya?”
“Itu..tu.., shit-shit begete, apa an?”
Langsung kaki si Kunyuk melayang ke kepala si Otong. Ciat-ciat kungfu ayam mulai beraksi. Untungnya mereka berdiri di posisi belakang, sehingga ayam-ayam yang berhadir tidak terlalu menyaksikan tendangan maut dari Si Kunyuk.
“Dasar kolot kamu, Tong!”
“Kolot apanya? Aku memang tidak pernah kenal istilah shit-shit begete. Memoriku belum mencatat kata-kata itu,”
“Memori ayammu berapa giga sich?”
“Ha, giga itu apa lagi?”
Sekali lagi tendangan seribu bayangan ayam dari si Kunyuk melayang ke wajah si Otong, akan tetapi Otong sudah waspada, sehingga tendangan itu tidak terlalu mengenainya seperti tendangan pertama.
“Tong! Giga itu ukuran untuk file di memorimu, satu kilobite, satu megabite, satu gigabite yang disingkat dengan Kilo, Mega dan Giga serta ukuran lain-lainnya. Sedangkan Bullshit itu bukan istilah ilmiah, itu tu istilah lain, istilah gaul namanya. Artinya bedebah,”
Otong manggut-manggut mengerti.
Benar, mereka berdua menyadari bahwa perkampungan ayam mulai kehilangan tauladan dari pejabatnya. Tidak ada lagi pemimpin yang seperti Rasulullah, orang pertama yang mengerjakan apa yang dia katakan, berdiri di shaf paling depan di medan perang, juga berdiri di shaf paling depan dalam memimpin shalat. Laqad kaana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah., sungguh terdapat pada pribadi Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu.
Pakde yang memimpin perkampungan ayam katanya ingin melaksanakan demo, tetapi ketika melihat padi berserakan, nafsu makannya langsung naik ke tembolok, langsung saja tanpa ampun, pakde menyerbu padi-padi yang diserakkan oleh Pak Haji Surdini.
Melihat tingkah pakde, semua ayam-ayam yang berdemonstrasi ikut-ikutan menyantap padi Pak Haji Surdini. Apa mau dikata, nafsu tidak bisa ditahan, kalau ditahan kita sendiri yang sengsara, begitulah batin ayam-ayam itu berkata. Lagi pula tidak ada do’a untuk menolak rizki.
“Pakde! Kita butuh mengubah strategi demo kita,” kata seekor ayam.
“Iya, Pakde, kita harus mengubah strategi kita. Kalau Pak Haji memberikan beras, kita pura-pura tidak bernafsu makan saja. Jadi beliau akan mengira kita ayam-ayam yang sedang sakit. Akhirnya Pak Haji Surdini akan bertanya-tanya. Pada saat beliau kebingungan itulah, kita langsung mendemonya,”
“Saya sepakat dengan usul saudara Sukiman,” kata seekor ayam yang dari tadi menyimak rapat ayam dengan seksama dari awal sampai akhir.
“Yes, I am too,” kata si Kunyuk dari belakang sambil mengompori ayam-ayam yang lainnya.
“Baik, kita memang seharusnya menukar strategi demo kita. Kalau kita demo setelah makan padi, sama saja dengan tidak demo. Sebab setelah makan, perut kita sudah kenyang semuanya. Kalau sudah kekenyangan kita tidak akan bisa berpikir apa-apa lagi, selain hanya tidur atau pergi ke tempat-tempat yang kita sukai,” Pakde mulai bersuara.
“Saya usul begini saja Pakde,” ucap Ustadz Ayam.
“Usul apa ustadz?”
“Bagaimana kalau kita ajak Pak Haji Surdini duduk bersama-sama dengan kita di suatu tempat, lalu kita bahas dengan beliau masalah makanan kita ini secara baik-baik. Allah berfirman dalam surah Asy-Syura ayat 38 : wa amruhum syura bainahum, dan urusan-urusan mereka, mereka musyawarahkan sesama mereka.”
Hadirin yang mendengar menjadi terpesona dengan kata-kata ustadz ayam yang begitu cerdas dan menyentuh hati sampai ke lubuk hati yang paling dalam.
Bermusyawarah memang solusi terbaik dari segala permasalahan yang sedang kita hadapi. Bermusyawarah berarti menghadirkan orang lain ke dalam pikiran kita, agar tidak buntu. Pepatah bilang, duduk sendiri bersempit-sempit, duduk bersama berlapang-lapang, artinya kalau kita duduk seorang diri menyelesaikan masalah kita maka kita akan menemukan jalan buntu, semua jalan akan terasa sempit. Akan tetapi bila kita menyelesaikan masalah secara bersama-sama maka jalan akan menjadi luas. Seluas samudera pasifik.
Selama ini kita sering lupa dengan falsafah bangsa yang telah lama kita junjung-junjung tinggi. Kita sudah melupakan kebudayaan murni bangsa kita dengan menjiplak ke daerah luar, menjiplak barat lah, menjiplak china lah, menjiplak arab lah, menjiplak semua yang bisa kita ciplak. Kalau yang dijiplak itu baik, maka tidak menjadi masalah. Akan tetapi yang dijiplak adalah sesuatu yang buruk yang bisa mengubah jati diri kita sebagai bangsa Indonesia. Menjiplak itu hal-hal yang sangat memalukan. Kita lupa bahwa bangsa kita menjunjung tinggi musyawarah, dan sangat membenci hal-hal yang bersifat demo atau voting.
“Saya sependapat dengan ustadz ayam,” ucap si Otong dari belakang perkumpulan, “Kita semestinya menyelesaikan permasalahan ini dengan kepala dingin, kita harus bermusyawarah. Dalam sila ke empat Pancasila disebutkan bahwa Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan garis miring perwakilan. Ini mengindikasikan bahwa bangsa kita harus bermusyawarah dalam segala hal agar kita memperoleh titik temu dari permasalahan kita,” lanjut si Otong.
“Tumben otakmu jadi cerdas, Tong,” sambil berbicara dengan nada berbisik si Kunyuk berkata pada si Otong.
“Kalau masalah musyawarah aku yang paling mengerti seluk-beluknya, Nyuk. Bahkan ayat yang dibacakan ustadz ayam itu aku sudah hafal duluan. Waktu di MDA dulu aku sering menghafal-hafalnya dengan lidahku. Tadinya aku mau menyebutkan itu tapi tidak berani. Aku takut nanti perkataanku tidak dianggap. Tapi kalau kata-kata itu keluar dari mulut ustadz mah, orang-orang bisa memakluminya. Kata yang benar dan diucapkan di tempat yang benar belum tentu diterima oleh orang lain kalau yang menyampaikannya bukan orang yang benar,” jawab Otong juga dengan nada berbisik.
“Cerdas kamu Tong! Berarti memori kamu itu bukan Gigabyte lagi tapi Terrabyte. Ukuran yang sangat besar. Beruntung aku bisa berteman denganmu,” ucap si Kunyuk.
“Ah kamu bisa saja, Nyuk. Beberapa detik yang lalu kamu masih mengatakan aku orang yang kolot. Tapi kemudian kamu katakan aku ayam yang cerdas. Konsisten sedikit, Nyuk!”
“Aku orang paling konsisten, Tong. Aku tidak akan mengubah kata-kataku padamu. Kamu memang kolot juga kok,” mendengar ucapan si Kunyuk, Otong kembali heran. Dalam hati ia bergumam, ni orang paling bolot malah bilang dirinya paling konsisten.
“Aku hanya ingin menyampaikan rasa hormatku pada idemu yang mendukung ustadz ayam. Aku bukan menghormati kamu dan bukan mengatakan kamunya yang cerdas, tapi yang ingin aku katakan adalah IDE-mu itu cerdas! Dalam bahasa Inggris, idemu tadi bisa disebut ‘the right word in the right place must be spoken with the right man’, kata yang benar, diucapkan di tempat yang benar, harus disampaikan oleh orang yang benar pula,”
Otong hanya manggut-manggut mendengar ucapan si Kunyuk. Si Otong memang tidak pernah bersekolah seperti si Kunyuk yang sudah tamat SMA Negeri 1 Ayam di Belakang Kandang. Dulu waktu masih kecil, si Otong hanya sekolah di SD, itu pun tidak tamat hanya sampai kelas empat. Makanya untuk bersaing dengan ayam-ayam yang rapat di hari kedua itu si Otong hanya mengiyakan pendapat orang lain. Kalau ditilik dengan teliti, ternyata ada untungnya juga kalau ayam itu bersekolah, terlihat dari cara bicaranya dan pengetahuannya yang luas. Sedangkan ayam yang tidak bersekolah hanya bisa nurut.
Lain halnya dengan si Otong, dulu ia mengundurkan diri dari siswa sekolah SD karena ia sadar dengan sebenar-benarnya bahwa sekolah akan menghambat pengetahuannya. Selain menghambat, sekolah juga akan mendoktrin wataknya yang lues dengan doktrin-doktrin keliru, seperti jiwa patriotisme nihil, semacam jiwa bela negara yang tak menentu. Ayam mau-maunya mengorbankan kepentingannya untuk kepentingan negara, padahal negara tidak memberikan apa-apa pada dirinya.
Seperti misalnya kita memberikan tanah kita untuk negara, toh negara tidak memberikan apa-apa pada kita. Begitulah dulunya si Otong berpikiran. Akhirnya sebelum jiwanya yang bebas dihambat oleh sekolah ayam, ia segera mengundurkan diri dari sekolah. Sekolah baginya adalah produk kurang asin yang membuat hidup ini bertambah asin, asin, dan asong.
Tapi ketika mendengar dan melihat serta menghinap-renungkan apa yang terjadi pada rekan-rekannya yang bersekolah, ia mulai menyesal. Ia mulai sadar diri bahwa sekolah juga mengajarkan bagaimana menghadapi sesuatu dengan lebih luas dari seluruh penjuru pandang. Tidak hanya dari cara pandang kita tapi juga dari cara pandang orang lain, tidak hanya dari cara pandang orang Indonesia tapi juga dari cara pandang orang Inggris.
Mendengar perkataan si Kunyuk yang menggunakan bahasa Inggris tadi, si Otong tergerak hatinya untuk mengikuti perkembangan bahasa ayam. Selama ini yang ia tahu hanya I am sorry, I am chicken, I am ayam dan how are you, sir. Itu ia dengar-dengar dari warga ayam yang sering nongkrong-nongkrong di warung kopi Buk Siti.
“Saudara-saudaraku seayam seperkandangan, bagaimana kalau kita turut mempertimbangkan usulan dari ustadz ayam,” ucap Pakde ke seluruh warga ayam yang berkumpul.
Para hadirin mulai ada yang berbisik-bisik ke sebelahnya, menanyakan bagaimana sebaiknya kondisi perkandangan ayam ini ke depannya. Apakah harus menerima begitu saja jatah kekurangan padi, atau malah jadi malas keluar kandang sekalian malas untuk berkokok pagi hari agar manusia tidak lagi bisa bangun pagi atau malah melakukan demo dengan majikan mereka Pak Haji Surdini atau mereka harus bermusyawarah sesuai dengan yang telah diusulkan oleh ustadz ayam.
“Musyawarah adalah jalan terbaik dari yang terbaik yang pernah kita punya. Sebaiknya kita mengikuti ide brilian ustadz ayam. Saya yakin kalau kita bermusyawarah dengan Pak Haji, beliau bisa mempertimbangkan kelangsungan hidup kita sebagai bangsa ayam. Beliau juga akan berusaha sebaik mungkin sebagai majikan untuk memenuhi sandang, pangan dan papan kita,” seekor ayam dengan baju dinas berkata pada ayam-ayam di sekitarnya. Baju dinas ayam memang agak aneh, hanya debu-debu bekas tanah. Jika ayam-ayam yang memiliki bulu-bulu penuh dengan tanah itu tandanya ayam yang PNS, yang bekerja sebagai pengabdi negara. Biasanya ayam yang seperti ini lebih teratur dan bertutur kata dengan perkataan lebih sopan dari pada ayam-ayam lainnya.
Setelah dicapai kata sepakat, bulat air ke pembuluh bulat kata ke mufakat, maka akhirnya esok pagi semua ayam sekandang kembali akan menemui Pak Haji secara baik-baik menduduk-tegakkan permasalahan hidup ayam banyak.
* * *
Pak Haji Surdini berdiri di hadapan ayam-ayamnya yang sedang asyik menyantap padi dengan paruhnya.
“Beruntunglah kamu ayam-ayam! Aku di sini memberimu makan tidak mengharap agar kamu juga memberiku makan. Aku memberimu makan tidak mengharap agar kamu mengikuti perintahku. Aku tidak mengharap balas apa-apa. Aku memelihara ayam hanya sebagai hobiku, suatu hal yang menyenangkan hatiku. Aku memang menyukai suara ayam-ayam yang berkokok di pagi hari, yang mengingatkan padaku masa-masa laluku, masa-masa mudaku dulu di kampung Kamang Hilia ini. Saat itu aku masih bujangan, ketika aku terbangun mendengar kokokan ayam di pagi hari, aku langsung berdiri dari tempat tidurku dan bangun untuk melaksanakan shalat Tahajud kemudian aku berdo’a, Ya Allah, jadikanlah aku hamba-Mu yang sempurna, jadikanlah aku hamba-Mu yang menyempurnakan agama-Mu, aku ingin naik Haji ya Allah, aku ingin segera memenuhi panggilan-Mu untuk mengunjungi tanah suci Mekkah,”
“Saat-saat fajar itulah aku benar-benar bisa mengadu nasibku pada Allah, saat di mana semua orang tidak memikirkanku, saat di mana semua orang tidak memperhatikanku lagi, saat semua orang tertidur lelap di atas peraduan mereka. Saat itu aku hanya menginginkan agar aku bisa naik haji ke Mekkah dan sekarang aku sudah jadi Haji, Pak Haji Surdini orang-orang menyebutku,”
“Ayam-ayamku semuanya, beruntunglah kamu jadi ayam,” Pak haji Surdini melemparkan padi-padinya ke hadapan ayam-ayam yang tadinya sudah bersepakat untuk berdemo.
Demo??? Entahlah, kembali seperti semula, apabila sudah melihat padi, ayam-ayam itu menjadi lupa dengan semua planning-nya. Planning tinggal planning, yang penting untuk saat ini adalah mengisi perut dengan padi sebanyak-banyaknya. Demo adalah urusan nomor sebelas. Begitulah....
Cerita ini belum selesai, tanggal 31 Desember 2007, menjelang subuh
Alah tu “mah”, panek daku manulis.