Jombang Manuscript
Jombang Manuscript
TRIP TO JOMBANG
Pondok Al-Mardliyyah, Bagian Penerimaan Tamu, Sabtu 12 Mei 2012, Jam 19.45
SAYA : “Sudah shalat isya, mbak?”
Mbak DINI : “Sudah. Kak Ridhwan sendiri sudah?”
SAYA : “Belum. Magrib aja belum”
Mbak DINI : “Oh jamak ya. Jamak di sini apa di Surabaya?”
SAYA : “Di Surabaya saja nanti”
Mbak DINI : “Shalat di sini saja.”
SAYA : “Ada masjid toh, mbak?”
Mbak DINI : “Ada di dalam”
SAYA : “Tapi saya kuatir nyusahin bapaknya”
Mbak DINI : “Ooo, nggak...”
SAYA : “Maksud saya, nyusahin bapak tukang ojeknya”
Mbak DINI : “ooo.. Ya Allah..., Ternyata Kak Ridhwan datang ke sininya benaran..”
Saya dan Mbak Dini diam tak bersuara.
SAYA : “Saya ke sini mau melamar Mbak Dini sebenarnya. Sayangnya saya datang sendiri, ya sudahlah saya silatur rahmi saja”
Mbak DINI : “Lagian kita kan baru kenalan. Kita masih...” terputus.
SAYA : “Ya, saya setuju.” Terdengar suara anak-anak mengaji dari luar ruangan. “Emang ngaji kayak gitu?” anak-anak mengaji dengan suara dinyanyikan.
Mbak DINI : “Iya.”
SAYA : “Ngaji apa an, mbak..”
Mbak DINI : “Iya, itu pondok. Nazaman itu..”
SAYA : “Nazaman??”
Mbak DINI : “Ya ngaji Kitab. Sampeyan tadi nanya Madrasah Diniyah. Ya itu Madrasah Diniyah...”
SAYA : “Terakhir kali saya ke Surabaya. Setelah ini gak ada tour lagi.”
Mbak DINI : “Di Padang, Kak Ridhwan ngajar apa?”
SAYA : “Saya? Saya ngajar bahasa Arab”
Mbak DINI : “Waktu nelpon dulu banyak anak-anak”
SAYA : “Ooo itu, anak-anak itu... anak-anak MDA. Tahu MDA kan mbak? Madrasah Diniyyah Awaliyah. TPA tahu? Taman Pendidikan al-Qur’an. Kemaren itu saya kan Kepala Sekolahnya. Kemaren itu lagi tidak ada guru, saya sedang di kantor. Jadi pas nelpon itu, mereka nanya : ‘ini gimana pak..., ini gimana pak..’ Bapak lagi nelpon nih..
SAYA : “Saya pamit lagi ya, mbak”
Mbak DINI : “Lho, sebentar”
SAYA : “Saya maunya lama-lama. Setahun malah di sini”
Mbak DINI : “Setelah ini mau ke mana, Kak Ridhwan?”
SAYA : “Ke Bali”
Mbak DINI : “Lho, kapan-kapan ke Bangka, datang ke rumah, pergi maen...”
Saya diam sejenak.
Mbak DINI : “Kak Ridhwan pergi sendiri, gak bawa temannya?”
SAYA : “Iya (sendiri). Temannya banyak sih, tapi gak ada yang bisa diajak. Teman-teman saya semuanya ngajar. Guru. Guru itu gak bisa liburan sembarangan.”
Diam lagi.
SAYA : “Saya jadi gak enak dengan bapak tukang ojeknya. Atau saya suruh pergi saja dulu Bapaknya.”
Saya keluar beberapa saat lalu menemui sang bapak tukang ojek.
SAYA : “Bapaknya bersedia menunggu”
Mbak DINI : “Mau menunggu”
SAYA : “Minum boleh berdiri, gak?”
Mbak DINI : “Berdiri? Berdiri saja. Rasulullah tidak pernah minum berdiri”
SAYA : “Kalau sambil berdiri di atas bus, gimana? Waktu di bus, rame, saya berdiri dan mau minum duduk gak bisa, yah berdiri saja.”
Mbak DINI : “O, tadi di bus berdiri ya? Ya Allah....”
SAYA : “Kalau Rasulullah tahu keadaannya, mungkin bolehkan saya minum berdiri”
Mbak DINI : “Ya Allah”
SAYA : “Saya minumnya berdiri saja, sambil berkata : ‘ma’afkan saya ya Rasulullah’. Saya rindu sama mbak Dini...”
Mbak DINI : “Ya Allah...”
Temannya Mbak Dini masuk : “Assalamu’alaikum”
SAYA : “Wa’alaikumus salam wa rahmatullahi wa barakatuh”
Mbak DINI : “Sama suami?” tanya Mbak Dini sama temannya.
Teman Mbak Dini : “Iya, diantar suami. Ya Allah..” terus masuk ke dalam.
SAYA : “Temannya mbak dini?”
Mbak DINI : “Ustadzah..”
SAYA : “Tadi saya tanya sama santri putranya. Tempatnya santriwati di mana? Di sini santri semua. Kalau mau nemui santriwati di mana? Di depan kantornya. Saya tanya tadi Al Muhibbin, kalau tempat santriwatinya Al-Mardhiyyah.”
SAYA : “Saya bisa jadi santri di sini? Gimana caranya?” saya lalu mengambil brosur yang terletak di samping lemari di ruang tamu. Ketika melihat tulisan Madrasah Diniyah, saya bertanya : “Madrasah Diniyah apa an??”
Mbak DINI : “ya, sampeyan ngajar di Madrasah Diniyyah. Itu ngaji tadi.”
SAYA : “Enak ya tinggal di sini. Lho ini tidurnya dari jam 9.30 sampai jam 3. Cuma istirahat 6 setengah jam.” Ucap saya sambil melihat-lihat brosur penerimaan santrinya.
SAYA : “Saya bingung lho, mbak. Ustadzahnya yang mana santrinya yang mana. Hampir sama semua.”
Mbak DINI : “Di sini santri semua. Namanya juga mondok, jadi statusnya santri semua..”
Ketika lihat saya tersenyum, Mbak Dini bertanya : “Kenapa?”
SAYA : “Saya tertawa. Kenapa bisa sampai sini. Satu jam saya berdiri di Bungurasih bingung mau kemana. Saya punya sedikit oleh-oleh buat mbak dini”
Mbak DINI : “Ya Allah..., apa ini? Dari mana ini? Dari Padang.”
SAYA : “Iya. Kalau yang waktu itu saya dari Makassar.”
Mbak DINI : “Iya, saya masih ingat, air mancur...” Mbak Dini berkata sambil tertawa.
SAYA : “Iya, air terjun” saya juga ikut tertawa. “Saya bisa bertamu sampai jam berapa, mbak?”
Mbak DINI : “Sampai jam berapa maunya?”
Saya bingung.
Mbak DINI : “Hmmm.. tanya apa lagi?”
SAYA : “Sebenarnya saya mesti list dulu pertanyaan. Satu, dua, tiga, empat lima enam tujuh. Ini sudah, yang ini belum, yang ini sudah...”
SAYA : “Saya juga bawa kamera. Punya teman saya.”
Mbak DINI : “Lho gak takut hilang”
SAYA : “Artinya teman saya punya kepercayaan sama saya. Saya bisa jaga amanah. Saya juga tidak mau sia-siakan amanah. Lho di sini juga ada Habbatus Sauda’ ya mbak?”
Mbak DINI : “Sampeyan mau?”
SAYA : “Bagus ya? Maksud saya, kemaren saya ketemu dengan Habbatus Sauda’, beberapa hari sebelumnya juga ketemu Habbatus Sauda’. Lha di sini ketemu lagi. Habbatus Sauda’ itu emangnya apa, mbak?”
Mbak DINI : “Biji-bijian”
Mbak DINI : “Ada apa lagi? Jangan diam aja, terus nanya.. Mau nginap di sini?”
SAYA : “Lho, Mbak Dini saja mau pulang pagi, nginapnya saja di sana (di bandara), apalagi saya..”
Mbak DINI : “Nanti kalau dari sini, minta diturunkan di terminal lama”
SAYA : “Yang itu Mbak Dini gak perlu kuatir. Saya punya filosofi, mbak. AMAT VICTORIA CURAM. Amat Victoria Curam”
Mbak DINI : “Apa itu artinya?”
SAYA : “Kemenangan itu berpihak kepada orang yang bersiap-siap”
Mbak DINI : “iya...iya ya...”
Kami pun diam sesaat.
Mbak DINI : “Emang rumahnya kayak gini semua?” Mbak Dini bertanya pada saya saat melihat souvenir yang saya berikan.
SAYA : “Mmm... Laysat Kulluhaa. Tidak semuanya...”
Mbak DINI : “Rumah sampeyan?”
SAYA : “Rumah saya? Rumah saya dari kayu. Rumah itu dari kayu yang bagus itu..”
Mbak DINI : “ooo..”
Tiba-tiba ada panggilan masuk dari telepon saya. Saya berbicara sebentar dengan Bahasa Minang.
Mbak DINI : “Bahasa apa tadi?”
SAYA : “Bahasa Minang”
Mbak DINI : “Saya tidak mengerti”
SAYA : “Bahasa Minang adalah bahasa yang paling mudah. Bahasanya mirip dengan bahasa Indonesia..”
Mbak DINI : “Gak jalan-jalan di Surabaya? Ada jembatan yang panjang..”
SAYA : “Jembatan Suramadu. Oh ya, saya tahu itu. Saya ada rencana sama anak-anak saya jalan-jalan ke sana. Maksud saya, murid-murid saya di sekolahalam. Kalau sudah lulus semua kita jalan-jalan. Kemana, pak? Suramadu. Mbak Dini tahu kan, saya ngajar di sekolahalam?”
Mbak DINI : “sekolahalam??”
SAYA : “sekolahalam itu tempat anak-anak belajar, ruang belajarnya di alam terbuka. Ya di mana-mana saja kita bisa belajar. Jadi tidak musti menggunakan kursi dan meja.”
SAYA : “Saya mau nyantri di sini, mbak? Banyak santriwati yang seperti mbak dini, gak?”
Mbak DINI : “Yang cantik-cantik bahkan lebih banyak..”
SAYA : “Kalau mereka seperti mbak dini, saya di saja. Seumur hidup juga boleh..”
Mbak DINI : “Di sini?? Boleh, jadi ustadz saja..”
SAYA : “Saya? Saya hanya bisa Bahasa Arab...”
Mbak DINI : “Jadi Kuliah?”
SAYA : “Saya? Saya kemarin kan mau putuskan kalau nyambung kuliah di Tafsir Hadits, karena saya sangat senang belajarnya. Tapi untuk tahun ini saya sepertinya belum mau lanjut kuliah.”
SAYA : “Jadi grogi saya.. Insya Allah jam setengah sembilan saya pamit...”
Mbak DINI : “Nginap di sini saja...”
SAYA : “Kalau saya pergi, hati saya tinggal di sini, dong...” Mbak Dini tersenyum mendengar ucapan saya..
SAYA : “Ini asbak toh, mbak?” Saya bertanya ketika melihat vas bunga yang terletak di atas meja tamu dijadikan asbak.
Mbak DINI : “Aslinya bukan, tapi karena sudah sering diletakkan rokok, jadi asbak.. Memangnya sampeyan merokok? Saya tidak pernah lihat sampeyan merokok..”
SAYA : “Dulunya sih iya.. waktu awal-awal saya di kampus. Teman-teman merokok saya juga ikutan merokok. Biasa, karena baru-baru menyesuaikan diri dan belum mengetahui jati diri yang sebenarnya. Teman saya ke cafe, saya ke cafe. Mereka merokok, saya merokok. Nongkrong, nongkrong...Yah itulah saya dulu, ikut arus..”
SAYA : “Mbak Dini, saya cinta Mbak Dini..”
Mbak DINI : “Ya, cerita apa??” Mbak Dini salah duga, kata ‘cinta’ terdengar ‘cerita’
SAYA : “Saya cinta Mbak Dini...”
Mbak DINI : “Yaa.., kita kan baru kenal..”
SAYA : “Saya tahu itu..”
Mbak DINI : “Yaa.., barangkali Kak Ridhwan baru lihat yang baik-baiknya saja.. Ada banyak yang lebih baik dari saya..”
SAYA : “Allahu A’lam” Allah lebih tahu, tapi yang saya tahu sampai saat ini baru Mbak Dini.
SAYA : “Setidaknya setelah saya sampaikan, hati saya lebih tenang. Hidup saya lebih bersemangat. Saya tahu Allah mencukupkan apa yang diinginkan hamba-Nya.”