Patutlah Saya Berbangga

patutlah saya berbangga

Sudah sepantasnya setiap orang berbangga terhadap apa-apa yang dimilikinya. Contohnya :

  1. Bila Anda punya mobil baru, Isuzu dia, Honda dia, Jazz dia, atau Karimun, mungkin juga Innova, Anda pantas bangga. Karena bisa saja mobil baru itu Anda peroleh dengan cucuran keringat bertahun-tahun, atau malah kredit yang Anda cicil-cicil perbulan, atau bisa saja hadiah undian, atau yang terakhir, yang ini kurang pantas saya sebutkan, yaitu karena hasil curian. Over all, Anda pantas bangga untuk mobil itu.

  2. Atau Anda punya gadget, handphone, android yang up to date, baru keluar dari pabrik dan serinya nomor 1 pula, orang belum punya Anda sudah memilikinya, Anda juga pantas bangga. Bila teman Anda menelepon gadget yang selebar tikar sajadah itu Anda angkat ke telinga. Suara Anda, Anda keraskan sampai dalam jarak 500 meter terdengar, kata Anda : “Ya Hallo, saham kita di Singapur sudah mulai membuahkan hasil, Gan”. Anda pun pantas bangga.

  3. Atau Anda punya pacar, putih kulitnya, harum bau ketiaknya, kalau dia bersuara, sangat manja terdengar oleh Anda, baju dan celananya kekurangan bahan, nampak dada dan paha sudah biasa. Nah Anda punya pacar seperti itu, orang lain tidak. Dalam kepala Anda, hanya Andalah pria beruntung itu yang mendapatkan bidadari dicecerkan malaikat di tengah jalan. Anda pun boleh bangga.

  4. Atau ada calon presiden, kalau tidak gara-gara Anda cucuk fotonya di bilik suara tidak akan menjadi presiden ia. Anda koar-koarkan ke orang sekampung : “Calon presiden nan seorang tu bila tak saya yang berkampanye tak naik dia menjadi presiden.” Anda pun sah berbangga.

Dari contoh-contoh di atas, kebanggaan seakan-akan bermakna : “Saya punya, orang tidak” atau “Kalau tidak gara-gara saya, tak akan menjadi dia”. Terlepas dari makna yang demikian, saya ini sangat ingin berbangga.

Adapun yang saya banggakan hanyalah seorang saja. Tidak mau saya menduakan, tidak saya lebihkan, tidak saya kurangkan, karena begitulah dia seadanya. Dan TIDAK PULA saya bermaksud “Saya punya, orang tidak” melainkan hanya sebagai tolok ukur (kata yang benar memang “tolok ukur” dan bukan “tolak ukur”, ini sudah sesuai EYD, dan sudah saya validkan kebenarannya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia).

Saya berbangga-bangga dengan tujuan supaya kira-kira kita bersama ada pembanding, ada melihat, dan ada menilai. Sedangkan Rasulullah sebagai manusia mulia pun pernah berkata agar kita mencari pembanding. Kata beliau : “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari padamu, yang demikian itu supaya kamu bersyukur dan sekali-kali agar kamu jangan pernah meremehkan nikmat Tuhan, walau sekecil apapun.”

Mari kita simak, telusuri dan renungi! Semoga beriktibar...

 

Wanita itu kecil umurnya di bawah saya. Dia baru tamat sarjana. Dapat gelar S.Pd dari kampusnya. Tidak sembarang orang dapat S.Pd itu. Kawan saya yang sering juara 1 saja, sudah patah semangatnya meraih gelar. Katanya biarlah tak bergelar asalkan berbakti kepada Nusa dan Bangsa. Kawan saya itu tak salah. Boleh-boleh saja dia berbangga tak punya gelar, sayang, alangkah baiknya dia bergelar lalu bangga. Ibarat kita “mobil tak punya, lalu bangga pula tak punya mobil karena melihat orang kecelakaan mobil setiap hari,” pemikiran ini adalah pemikiran keliru. Yang terlihat mobil celaka saja, cobalah lihat mobil berjalan di depan Jalan Khatib Sulaiman, di By Pass, di Jalan Padang-Bukittinggi, banyak mobil tak bercelaka, malah banyak mobil bagus, dan pantaslah empunya mobil berbangga.

 

Kembali ke wanita kecil umurnya di bawah saya dan sudah bergelar. Dia melamar kerja lalu diterima. Nasib baik bagi dia. Karena S.Pd-nya tentulah ia menjadi guru. Diajarnya murid-muridnya dengan senang hati. Tidak hanya ilmu di kepala yang ia transfer, tapi uang di rekening bank-nya ikut tertransfer membeli bahan dan wacana untuk kesejahteraan muridnya. Ia senang, muridnya pun turut senang. Rasa-rasanya tidak ada guru sebaik dia.

Setahun mengajar, ia pindah kelas. Kalau tahun sebelumnya ia mengajar dengan semangat, jiwa dan raga, maka tahun sekarang pun ia sangat bersemangat bersahaja. Murid senang, ia pun senang. Namun Allah tentulah menguji hamba-Nya. Tidak selamanya mulus jalan ke surga, ada juga halang merintang.

Ada kasus di kelasnya, murid-muridnya tak terpantau baik sehingga heboh orang sesekolah karena muridnya terkena tindakan agak asusila (saya tulis kata ‘agak’ memang bukan sepenuhnya, melainkan sedikit saja). Dia sebagai guru tentu merasa salah, tapi yang bukan kalah hebohnya, guru-guru yang lain menyalahkan dia. Pihak sekolah bukan pula mencari solusi tapi malah menyudutkannya.

Rasa-rasa saya sebagai orang yang mulia, atau sebagai orang yang biasa, beban seperti ini adalah tanggung jawab bersama sesama guru di sekolah, bukan kepada seorang guru yang berada di kelas.

Tahulah Anda sekarang, bahwa harimau yang semangat pun bisa surut, sebagai guru bila salah bersama ditumpahkan kepada satu orang, maka ciutlah yang satu orang itu. Sudahlah, karena bakti terhadap Nusa, mengajar tetap dijalankan, tapi tentu tidak sesemangat semembara sesaat di awal dahulu, sudah memudar dia.

Ada dia bersungguh-sungguh dalam bekerja, maka yang terlihat dan dicari-cari orang adalah malasnya. Ada dia bersantun-santun bersama para muridnya, maka yang terlihat dan dicari-cari orang adalah kasarnya. Ada dia menolong, maka yang terlihat dan dikatakan orang dialah perusuh.

Allah Maha Adil, Allah Maha Bijak. Karena ekspektasi padanya sudah berkurang, maka fokuslah ia pada kuliah melanjutkan studi S.Pd-nya. Namun dalam jiwanya, yang mengajar tetap mengajar, yang anak didik tetap diperlakukan sebagaimana layaknya anak didik. Heran saya, padanya masih ada “rasa memberi harapan banyak” padahal orang-orang sudah tak berharap terhadap dirinya lagi.

Maka bila melihat, meninjau dan menelusuri “rasa memberi harapan banyak” yang ia miliki, mengakulah saya bahwa dialah guru sejati yang pernah saya lihat. Saya kan sudah banyak berguru, ada guru nahwu, ada guru hadits, ada guru tafsir, ada guru fisika, ada guru kimia, belum pernah saya bertemu dengan guru yang memiliki rasa memberi harapan banyak, meski secuil insan tak berharap dia ada. Bagi saya, itulah cinta hakiki.

Bila saya memiliki sifat “orang tak berharap pada kita, tapi kita senantiasa terbuka untuk memberi harapan” maka sesungguhnya itulah kekayaan yang paling kaya. Tapi saya tak punya sifat sedemikian. Saya tak sanggup bersifat demikian. Hanya dia yang punya, tidak mau saya menduakan, tidak saya lebihkan, tidak saya kurangkan, karena begitulah dia seadanya. Dialah Srimutia Elpalina, S.Pd, M.Pd kepadanya saya berguru dan patutlah saya berbangga karena dia adalah istri saya. Alhamdu lillah,

 

Setelah satu edar bumi ini mengelilingi matahari, setahun sudah kita membangun rumah tangga, hanya ini baru yang bisa saya tuliskan, untukmu dinda, Hubbi Fillah (cintaku karena Allah), semoga Allah berkahi dirimu dengan rasa syukur dan sabar yang belum pernah Ia berikan kepada makhluk sebelum ataupun sesudah dirimu. Selamat Hari berkeluarga, sayang...

 

 


 

FOLLOW US

Facebook Twitter Facebook Instagram Youtube

Jumlah Pengunjung