Bersandar Hanya Kepada Allah
NEVER GIVE UP TO BE KIND. Saya berkata: Bersandar kepada Allah Yang Maha Esa adalah gambaran orang-orang yang berilmu dan bertauhid, dan bersandar kepada selain Allah adalah gambaran orang-orang yang tak punya ilmu dan orang yang lalai, —siapapun, apapun dan bagaimanapun kondisi selain Allah itu—, baik ilmunya, amalnya, maupun ahwalnya.
Adapun orang-orang yang berilmu tauhid, mereka berada di ambang kedekatan dan persaksian, memandang Rabb mereka, dan mereka fana’ dari diri mereka sendiri.
Jika mereka melakukan kesalahan atau lalai, mereka akan menyaksikan kebenaran Yang Maha Kuasa disalurkan kepada mereka, dan ketetapan-Nya diterapkan kepada mereka. Dan jika mereka taat, atau muncul tanda kewaspadaan pada mereka, mereka sendiri tidak menyaksikannya, dan mereka juga tidak melihatnya sebagai kekuatan mereka. Karena yang mendahului hati mereka adalah dzikir kepada Rabb, sehingga jiwa mereka tenteram mengikuti arus takdir-Nya, dan hati mereka tenteram dengan apa yang tampak di hadapan mereka dari cahaya-cahaya Ilahi, dan bagi mereka tidak ada perbedaan antara situasi kedua-duanya (keadaan lalai maupun keadaan waspada), karena mereka tenggelam di dalam lautan tauhid. Ketakutan dan harapan mereka sama, sehingga apa yang mereka hindari dari kemaksiatan tidak mengurangi ketakutan mereka, dan apa yang mereka lakukan dalam ketaatan tidak menambah harapan mereka.
Syarih al-Majalis mengatakan: “Orang-orang yang ‘Arif berdiri atas nama Allah, Allah telah menjaga mereka, dan jika mereka menunjukkan ketaatan, mereka tidak memiliki harapan akan pahala atas taatnya itu, karena mereka tidak melihat diri mereka sebagai pelaku ketaatan itu. Dan jika kesalahan muncul dari mereka, maka uang darah harus ditebus (Istilah yang dipakaikan untuk menjelaskan bahwa yang melakukan kesalahan bertanggung jawab atas kesalahannya). Mereka tidak melihat apa pun selain Dia di masa sulit maupun lapang. Posisi berdiri mereka adalah bersama Allah, dan pandangan mereka hanya kepada-Nya, ketakutan mereka adalah kekaguman pada Allah, dan pengharapan mereka ialah keakraban bersama-Nya.”
Adapun orang-orang lain, mereka tetap menyendiri dalam mengaitkan perbuatan dan amal kepada diri mereka, dan mencari keberuntungan (mengharapkan balasan pahala) atas amal itu untuk diri mereka. Maka mereka bersandar pada amalan mereka dan bersandar pada keadaan (hal ihwal) mereka, dan jika mereka salah langkah, maka harapan mereka menjadi putus, sebagaimana jika mereka menunaikan ketaatan, mereka menjadikan taat itu sebagai harta yang paling banyak jumlahnya dan paling berharga bagi diri mereka, maka mereka menjadi terikat pada sebab-sebabnya, dan tersembunyi oleh sebab perilaku mereka dari Allah Ta'ala, Rabb Yang Maha Pemelihara.
Siapa pun yang menemukan tanda ini di dalam dirinya, beritahu dia status dan nasibnya, dan janganlah ia melampaui tahapannya, janganlah ia mengklaim posisi orang-orang khawas yang dekat dengan-Nya, tetapi dia termasuk di antara sahabat umum, golongan sayap kanan, Ashabul Yamin. Referensi makna ini akan muncul di beberapa tempat dalam kata-kata penulis, semoga Allah mensucikan rahasianya.
Syekh Abu Abdul Rahman Al-Sulami dan Al-Hafiz Abu Na'im Al-Isfahani menyebutkan tentang Yusuf bin Al-Hussein Al-Razi —Ridha Allah atas mereka— berkata:
“Beberapa orang tidak setuju dengan saya dan berkata kepada saya: Anda tidak akan mencapai apa yang Anda inginkan dari pekerjaan Anda kecuali Anda bertobat. Jadi saya menjawab: Jika pertobatan mengetuk pintu saya, saya tidak akan mengizinkannya, dengan syarat itu saya akan diselamatkan olehnya dari Tuhanku. Dan jika kejujuran dan keikhlasan adalah hambaku, niscaya aku akan menjual mereka (jujur dan ikhlas) karena aku sendiri yang meninggalkannya. Sebab sekiranya aku di sisi Allah dalam ilmu gaib, bahagia dan diterima, aku tidak akan terpuruk dalam berbuat dosa dan keburukan. Dan jika aku celaka dan ditolak oleh-Nya, maka taubatku, keikhlasanku, dan kejujuranku tidak akan menyelamatkan diriku, dan Allah menciptakan aku sebagai manusia tanpa amal dan tidak ada perantara bagiku menuju kepada-Nya, dan Dia memberi petunjuk kepadaku kepada agama-Nya yang diridhai-Nya, dan Allah SWT berfirman: Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali ‘Imran : 85 ].
Jadi, ketergantunganku pada karunia dan kemurahan-Nya lebih berharga bagiku —jika aku bebas dan waras— daripada ketergantunganku pada perbuatan-perbuatanku yang tersusupi dan sifat-sifatku yang ber-’illat. Karena menyikapi rahmat dan kemurahan-Nya, dan menganggap kemurahan itu sebagai amal-amal perbuatan kita, adalah pertanda kurangnya pengetahuan kita tentang Allah Yang Maha Pemurah.”
Aku berkata : Kisah ini dan kisah-kisah lain yang serupa mungkin terdengar di telinga seseorang yang tidak memiliki hak di dalam Tarekat ini dan dia mengingkari maknanya, tidak mempercayainya, atau dia menerimanya dan mengklaimnya sebagai Maqam untuk dirinya sendiri. Dua kondisi ini akan mengantarkan pelakunya pada kondisi yang amat berbahaya, hendaklah ia bertakwa kepada Allah, si Hamba yang tidak punya penglihatan tajam dalam Tarekat ini, lalu ia mengingkari apa yang telah kami sebutkan. Sehingga dia terjatuh membangkang membantah Para Wali Allah, dan jauh dari Tuhan Yang Maha Esa, atau ia mengklaim suatu kedudukan bagi dirinya tanpa memahaminya, tanpa berpegang kuat darinya, dan menimbangnya dengan standar yang telah kami peringatkan. Dan posisi itu adalah untuk orang yang belum benar-benar memperbaiki kedudukan pemusnahan diri (fana’), maka ia memperoleh kemurkaan dari Rabb Yang Maha Esa, sebab ia telah melampaui batasan-batasan-Nya, serta menjadikan hal itu sebagai alasan bagi dirinya untuk berbuat kesalahan dan kebodohan. Ini adalah bentuk zindiq atau kesesatan, dan semoga Allah Ta’ala melindungi kita darinya.
Adapun orang-orang yang berilmu tauhid, mereka berada di ambang kedekatan dan persaksian, memandang Rabb mereka, dan mereka fana’ dari diri mereka sendiri.
Jika mereka melakukan kesalahan atau lalai, mereka akan menyaksikan kebenaran Yang Maha Kuasa disalurkan kepada mereka, dan ketetapan-Nya diterapkan kepada mereka. Dan jika mereka taat, atau muncul tanda kewaspadaan pada mereka, mereka sendiri tidak menyaksikannya, dan mereka juga tidak melihatnya sebagai kekuatan mereka. Karena yang mendahului hati mereka adalah dzikir kepada Rabb, sehingga jiwa mereka tenteram mengikuti arus takdir-Nya, dan hati mereka tenteram dengan apa yang tampak di hadapan mereka dari cahaya-cahaya Ilahi, dan bagi mereka tidak ada perbedaan antara situasi kedua-duanya (keadaan lalai maupun keadaan waspada), karena mereka tenggelam di dalam lautan tauhid. Ketakutan dan harapan mereka sama, sehingga apa yang mereka hindari dari kemaksiatan tidak mengurangi ketakutan mereka, dan apa yang mereka lakukan dalam ketaatan tidak menambah harapan mereka.
Syarih al-Majalis mengatakan: “Orang-orang yang ‘Arif berdiri atas nama Allah, Allah telah menjaga mereka, dan jika mereka menunjukkan ketaatan, mereka tidak memiliki harapan akan pahala atas taatnya itu, karena mereka tidak melihat diri mereka sebagai pelaku ketaatan itu. Dan jika kesalahan muncul dari mereka, maka uang darah harus ditebus (Istilah yang dipakaikan untuk menjelaskan bahwa yang melakukan kesalahan bertanggung jawab atas kesalahannya). Mereka tidak melihat apa pun selain Dia di masa sulit maupun lapang. Posisi berdiri mereka adalah bersama Allah, dan pandangan mereka hanya kepada-Nya, ketakutan mereka adalah kekaguman pada Allah, dan pengharapan mereka ialah keakraban bersama-Nya.”
Adapun orang-orang lain, mereka tetap menyendiri dalam mengaitkan perbuatan dan amal kepada diri mereka, dan mencari keberuntungan (mengharapkan balasan pahala) atas amal itu untuk diri mereka. Maka mereka bersandar pada amalan mereka dan bersandar pada keadaan (hal ihwal) mereka, dan jika mereka salah langkah, maka harapan mereka menjadi putus, sebagaimana jika mereka menunaikan ketaatan, mereka menjadikan taat itu sebagai harta yang paling banyak jumlahnya dan paling berharga bagi diri mereka, maka mereka menjadi terikat pada sebab-sebabnya, dan tersembunyi oleh sebab perilaku mereka dari Allah Ta'ala, Rabb Yang Maha Pemelihara.
Siapa pun yang menemukan tanda ini di dalam dirinya, beritahu dia status dan nasibnya, dan janganlah ia melampaui tahapannya, janganlah ia mengklaim posisi orang-orang khawas yang dekat dengan-Nya, tetapi dia termasuk di antara sahabat umum, golongan sayap kanan, Ashabul Yamin. Referensi makna ini akan muncul di beberapa tempat dalam kata-kata penulis, semoga Allah mensucikan rahasianya.
Syekh Abu Abdul Rahman Al-Sulami dan Al-Hafiz Abu Na'im Al-Isfahani menyebutkan tentang Yusuf bin Al-Hussein Al-Razi —Ridha Allah atas mereka— berkata:
“Beberapa orang tidak setuju dengan saya dan berkata kepada saya: Anda tidak akan mencapai apa yang Anda inginkan dari pekerjaan Anda kecuali Anda bertobat. Jadi saya menjawab: Jika pertobatan mengetuk pintu saya, saya tidak akan mengizinkannya, dengan syarat itu saya akan diselamatkan olehnya dari Tuhanku. Dan jika kejujuran dan keikhlasan adalah hambaku, niscaya aku akan menjual mereka (jujur dan ikhlas) karena aku sendiri yang meninggalkannya. Sebab sekiranya aku di sisi Allah dalam ilmu gaib, bahagia dan diterima, aku tidak akan terpuruk dalam berbuat dosa dan keburukan. Dan jika aku celaka dan ditolak oleh-Nya, maka taubatku, keikhlasanku, dan kejujuranku tidak akan menyelamatkan diriku, dan Allah menciptakan aku sebagai manusia tanpa amal dan tidak ada perantara bagiku menuju kepada-Nya, dan Dia memberi petunjuk kepadaku kepada agama-Nya yang diridhai-Nya, dan Allah SWT berfirman: Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang merugi.” [Ali ‘Imran : 85 ].
Jadi, ketergantunganku pada karunia dan kemurahan-Nya lebih berharga bagiku —jika aku bebas dan waras— daripada ketergantunganku pada perbuatan-perbuatanku yang tersusupi dan sifat-sifatku yang ber-’illat. Karena menyikapi rahmat dan kemurahan-Nya, dan menganggap kemurahan itu sebagai amal-amal perbuatan kita, adalah pertanda kurangnya pengetahuan kita tentang Allah Yang Maha Pemurah.”
Aku berkata : Kisah ini dan kisah-kisah lain yang serupa mungkin terdengar di telinga seseorang yang tidak memiliki hak di dalam Tarekat ini dan dia mengingkari maknanya, tidak mempercayainya, atau dia menerimanya dan mengklaimnya sebagai Maqam untuk dirinya sendiri. Dua kondisi ini akan mengantarkan pelakunya pada kondisi yang amat berbahaya, hendaklah ia bertakwa kepada Allah, si Hamba yang tidak punya penglihatan tajam dalam Tarekat ini, lalu ia mengingkari apa yang telah kami sebutkan. Sehingga dia terjatuh membangkang membantah Para Wali Allah, dan jauh dari Tuhan Yang Maha Esa, atau ia mengklaim suatu kedudukan bagi dirinya tanpa memahaminya, tanpa berpegang kuat darinya, dan menimbangnya dengan standar yang telah kami peringatkan. Dan posisi itu adalah untuk orang yang belum benar-benar memperbaiki kedudukan pemusnahan diri (fana’), maka ia memperoleh kemurkaan dari Rabb Yang Maha Esa, sebab ia telah melampaui batasan-batasan-Nya, serta menjadikan hal itu sebagai alasan bagi dirinya untuk berbuat kesalahan dan kebodohan. Ini adalah bentuk zindiq atau kesesatan, dan semoga Allah Ta’ala melindungi kita darinya.